Senin, 12 April 2010

Kebudayaan papua # 2

POTONG JARI

PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Lase, Ferdinando
Sabtu, 16 Mei 2009 08:46

Apakah ungkapan kesedihan yang dipertunjukkan oleh seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Menangis, barang kali itu yang paling sering kita jumpai. Bagi umumnya masyarakat pengunungan tengah dan khususnya masyarakat Wamena ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya dengan menangis saja.

Biasanya mereka akan melumuri dirinya dengan lumpur untuk jangka waktu tertentu. Namun yang membuat budaya mereka berbeda dengan budaya kebanyakan suku di daerah lain adalah memotong jari mereka.

Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh para Yakuza (kelompok orangasasi garis keras terkenal di Jepang) jika mereka telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau gagal dalam menjalankan misi mereka. Sebagai ungkapan penyesalannya, mereka wajib memotong salah satu jari mereka. Bagi masyarakat pengunungan tengah, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.

Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Bagi masyarakat Balim Jayawijaya kebersamaan dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri. "Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik" atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu fam/marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya" (Ketika Balim Memandang Hidup - hal 7 - Hisage, Yulianus Joli, 2005). Itulah sebabnya, mengapa mereka harus memotong jarinya jika ada keluarga yang meninggal dunia.

Menurut informasi lainnya yang kami dapatkan, bahwa pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan. Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah 'terulang kembali' malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.

Seorang ibu asal Moni (sebuah suku di daerah Paniai) yang kami temui menjelaskan bahwa jari kelingkingnya digigit oleh ibunya ketika ia baru dilahirkan. Hal itu terpaksa dilakukan oleh sang ibu karena beberapa orang anak yang dilahirkan sebelumnya selalu meninggal dunia. Dengan memutuskan jari kelingking kanan anak baru saja ia lahirkan, sang ibu berharap agar kejadian yang menimpa anak-anak sebelumnya tidak terjadi pada sang bayi. Hal ini terdengar sangat eksrim, namun kenyataannya memang demikian, ibu asal Moni yang kami temui ini telah memberikan banyak cucu dan cicit kepada sang ibu.

Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak. Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringan yang terikat menjadi mati kemudian dipotong.

Namun kini budaya 'potong jari' kini sudah ditinggalkan. Jarang kita temui orang yang melakukannya beberapa dekade belakangan ini. Yang masih dapat kita jumpai saat ini adalah mereka yang pernah melakukannya tempo dulu. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh agama yang telah masuk hingga ke pelosok daerah di Papua.


Mungkin Anda bertanya-tanya tentang judul dari artikel ini. "Apa sebenarnya bakar batu itu?" "Mengapa batu harus dibakar?". Bakar batu merupakan sebuah kegiatan masak-memasak. Namun disinilah letak keistimewaannya. Barangkali Anda tidak pernah membayangkannya sebelumnya. Media yang dipergunakan untuk memasak adalah BATU. Yah... batu-batu yang dibakar hingga panas memijar.

Masyarakat pegunungan Papua dan beberapa daerah pesisir menggunakan metode bakar batu untuk mengolah makanan mereka. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan 'gapii' atau 'mogo gapii', sementara masyarakat Wamena menyebutnya 'kit oba isago'. Sementara masyarakat Biak menyebutnya dengan 'barapen'. Kata 'barapen' sepertinya sudah menjadi kata yang umum di Papua (mungkin karena mudah diingat dan diucapkan).

Umumnya kegiatan bakar batu ini dilakukan untuk menyiapkan hidangan dalam sebuah upacara besar. Upacara-upacara ini bisa dalam bentuk upacara pengucapan syukur, perdamaian (untuk mengakhiri perang antar suku), dan upacara-upacara adat lainnya. Hal yang menarik dari kegiatan bakar batu adalah melibatkan banyak orang. Disinilah akan terlihat betapa tingginya solidaritas masyarakat Papua. Proses persiapan hingga matangnya makanan pun terbilang cukup lama, sehingga umumnya pada saat menunggu proses matangnya makanan biasanya dipakai oleh kaum muda untuk menari-nari (tergantung upacara yang sedang berlangsung).



BAKAR BATU

Proses persiapannya diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan sebagai bahan bakar. Batu-batu kali yang digunakan ukurannya pun berfariasi, mulai dari yang berukuran 1 - 5 kepalan tangan pria dewasa. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan sebagai berikut, pada bagian paling bawah ditata dengan batuan-batuan yang ukurannya lebih besar, di atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian dengan batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga seluruh kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.

Sementara kaum pria mempersiapkan mempersiapkan kayu dan batu, kaum wanita menyiapkan bahan makanannya. Babi biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang kaki belakang. Isi perut dan bagian lainnya yang tidak dikonsumsi dikeluarkan, sementara bagian lainnya dibersihkan. Demikian pula dengan sayur-mayur dan umbi-umbian. Dan kaum pria lainnya mempersiapkan sebuah lubang di tanah dengan diameter kurang lebih 1m (tergantung dari banyaknya bahan makanan yang akan di masak, dan kedalaman 50-80cm.

Setelah batu-batuan itu siap, maka dengan menggunakan penjepit yang terbuat dari kayu mereka mulai mamasukkan sebagian batu-batuan tersebut ke dalam dasar lubang. setelah itu ditutupi dengan daun pisang. Lalu bahan makanan seperti daging ditempatkan di atasnya. Daging pun ditutupi dengan menggunakan daun pisang (daun yang lebar) lalu batuan panas lainnya diletakkan di atasnya, kemudian daun pisang lagi. Bahan makanan berikutnya yang dimasukkan adalah umbi-imbian, lalu daun pisang , batu, daun pisang dan sayur-mayur, daun pisang dan diakhiri dengan berbagai macam dedauanan bahkan rumput. Lapisan akhir ini dipergunakan untuk mencegah keluarnya uap panas dari dalam lubang.

Proses matangnya masakan tersebut membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam. Sementara menunggu masaknya makan-makan tersebut, biasanya kaum muda bersenda gurau sambil meneriakkan pekik-pekik kebahagiaan. Dalam upacara adat yang melibatkan banyak masyarakat, liang-liang tempat memasukkan makanan ini dibuat cukup banyak. Hal menarik lainnya adalah mereka akan duduk dalam kelompok-kelompok kecil dan sambil mempersiapkan masakannya. Jika sudah matang makanan-makanan itu akan dibagikan kepada semua orang yang ada dilokasi pesta, tanpa terkecuali. Semua mendapatkan porsi yang sama baik tua maupun muda hingga anak-anak.

Dan hasil masakannya? Bagi sebagian orang yang tidak terbiasa mungkin akan merasa agak risih karena makanan itu diolah di dalam lubang dalam tanah. Namun... saya jamin, sekali mencoba.... Anda akan ketagihan. Kok bisa??? Yah... karena itulah pesona Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar